Bu Heni terlihat kesel banget, raut wajahnya buram, BT banget kelihatannya. Setelah mogok motor setelah jembatan tadi, terus masalah ikan asin, dan ditambah lagi tadi Bu Yati sms kalau Mehfta uda pergi meninggalkan Bu Yati, ia kesal dan mau pulang saja. Bagaimana ini?
Jumat, 30 Oktober 2009
Ingin ke Pamengpeuk. Jiwa berpetulang sudah meminta jatahnya. Karena laut di sana masih perawan, bersih gitu, perjalanannya juga menantang, ditamnbah melihat foto-foto teman yang sudah ke sana, dan hasil browsing dari internet, Uda ga tahan nih, horny pengen ke laut!! Hari ini bilang ke Mehfta kalau besok jadiin aja ke Pamengpeuk, biar bensin aku aja, mungkin makanan baru kita bareng-bareng. Tinggal bawa tenda, terus kerir, Cuma memang aga repot juga kalo kerir, soalnya besar, dan dengan motor lelaki yang akan kita bawa tidak ada tempat untuk ditaruh di depan, dan jika digendong sama boncenger lumayan pegel juga. Ada rencana mau beli breket belakang untuk keperluan ini, tapi lain waktu ah, sementara ini tidak masalah.
Sore ini Mehfta pergi ngajar Bimbel Padjadjaran Smart di Jatihandap. Hingga malam ia belum pulang, aku sms mengingatkan supaya kalau bisa pinjam kamera SLR Pak Askur (Pemilik Bimbel) untuk ke Pamengpeuk esok jika kita jadi berangkat. Malam ini akhirnya ia bawa, ternyata bisa dipinjam, yes! Tapi ternyata chargernya nggak bawa, yah gapapa katanya awet baterainya, soalnya tidak pakai LCD (LCD kamera ini sudah rusak). Oce!! J
Malam ini begadang, chatting ama beberapa orang. Isti (teman SD) di Jakarta, dan juga Bu Guru Ramadhian 2 (Aku tinggal di TK Ramadhian 3), Bu Heni. Aku bilang besok sabtu mau ke laut, mau ikut tak? Setelah ngobrol lain ga jelas, beliau ga bilang apa-apa, liat nanti saja mau tidur katanya.
Ya sudah… aku lanjut berselancar di dunia maya… mencari-cari informasi mengenai Pamengpeuk. Ternyata ada juga jalur dari dari Pengalengan, dan dari Pamengpeuk bisa terus ke Ujung Genteng dan Pelabuhan Ratu di Sukabumi, di sini pantainya rata-rata masih perawan. Jadi semakin semangat nih!
Sabtu, 31 Oktober 2009
Pagi ini sebelum jam enam Bu Heni sms, “tawaran tadi malam masih berlaku ga?”, wah, ternyata ketika ku kira tak mungkin ikut ternyata mau ikut juga. ok Mehfta ga keberatan, kita setuju. Bu Heni mengajak Bu Yati. Bu Heni bertanya apa yang perlu dibawa, kita bilang diharapkan membawa logistic J jangan lupa perlengkapan mandi dan motor sendiri serta perlengkapannya seperti jaket, sarung tangan, masker. Ketika ditanya bawa motor apa, kawasaki ia bilang ga tau tipe apa. Rencana kalo berempat gini biar malam ini Bu Heni dan Bu Yati tidur di tenda, kita di luar saja beralaskan pasir, beratapkan langit.
Kita siap-siap sementara Bu Heni dan Bu Yeti membeli logistic, karena kita lama jadi saja mereka nyusul ke TK III ini. Ternyata Bu Heni pinjam motor Kakaknya, Kawasaki ZX 130 cc, wah masih mulus terawat ni motor. Bu Heni bawa snack banyak banget, coca cola dll. Ternyata belakangan kutahu bawa semua ini Bu Heni bayar sendiri, beserta bensin motornya nanti.
Siplah, kami girang karena logistic lebih dari cukup, biasanya kami tidak pernah bawa snack lebih dari dua macam saking pelit dan modal dengkulnya. Hahaha… Bu Heni dan Bu Yati terlihat sedikit gelisah karena mereka khawatir kalau-kalau Pak Deni dating melihat-lihat TK. Pak Deni adalah empunya TK. Mungkin khawatir tidak boleh jalan2? Aku sih ketawa saja.
Akhirnya kita cabut. Setelah pamit dengan Kang Dinar. Aku yang bawa ZX dengan Bu Yeti, Mehfta dengan Bu Heni pakai Mega Pro di depan. Kita isi bensin dulu di dekat BIR, kemudian lewat jalan belakang melintasi jembatan tol, kita menuju Cijapati (jalur alternative Bandung – Garut, dengan jalan lumayan bagus, tapi sempit dan berkelok kelok melewati perbukitan, kita memilih jalan ini karena dalam acara jalan-jalan, jadi menikmati perjalanan dan tak perlu terburu-buru). Di jalan Cijapati kami sempat berfoto-foto. Tapi sepanjang perjalanan aku lihat motor di depan ini box sampingnya goyang-goyang keras, ternyata aku ingat kalau baut samping kirinya hilang karena pernah melepasnya untuk mengambil tools motor.
Di akhir jalan Cijapati ini, sempat hampir menabrak anak sekolah karena ketika sekolah ramai karena jam pulang sekolah, ia menyebrang dengan berlari dan tidak menyadari keberadaan motor kami. Ban sempat berdecit ketika itu. Syukurlah anak itu mengurungkan niat menyeberang dan tidak terjadi apa-apa.
Memasuki kota Garut, kita tidak lewat jalan lingkar luar, tapi lewat kota, aku dulu pernah melewati jalur kota Garut ini, jadi di depan, tapi ternyata salah jalan juga. Tapi ada bagusnya juga, kita jadi ketemu bengkel Honda dan aku membeli baut untuk mengganti baut box samping yang hilang. Kemudian meminta tolong mekanik untuk memasangkan tempat air minum sepeda di stang kanan motor ini. Aku Cuma bayar Rp. 2000,- untuk bautnya saja, jasa tidak. Wah, baik sekali. Terima kasih.
Di bengkel inilah ketahuan bahwa perapatan menuju Pamengpeuk telah kami lewati. Akhirnya kami balik lagi dan menuju ke arah yang benar. Sepanjang jalan ini adalah menanjak, dan kita dapat melihat pemandangan gunung Cikurai dan Papandayan. Menjelang salah satu kota di mana terdapat POM Bensin yang terakhir kita mengisi bensin dulu, SPBU ini cukup bagus. Kemudian kita bertemu pertigaan Pasar Cikajang di mana kalau lurus adalah menuju kawah Papandayan, sedangkan ke kiri adalah ke Pamengpeuk. Kita berhenti di indomaret mencari kalau terdapat tabung gas kecil untuk kompor kecil yang kami bawa. Ternyata tidak ada, begitupun ketika kami mencari di toko-toko selanjutnya. Ternyata memang harus beli di Bandung dulu. Tapi tak apa, kata Mehfta sisa botol ini cukup untuk masak nasi dan keperluan lainnya. Ya sudakh… hehehe…
Karena sudah memasuki waktu Dzuhur sejak dari Garut tadi, kami berhenti di masjid di bawah kaki Gunung Cikurai. Sholat Dzuhur di jamak dengan Ashar, sekaligus istirahat sebentar. Bu Heni tidak ikut karena sedang halangan.
Dari sini perjalanan mulai lebih menyenangkan karena terdapat perkebunan Teh sebelah kiri dan kanan. Di tempat yang cukup bagus dan adem kami berhenti, makan siang. Meski hanya makan roti saja, hahaha… tempat kami istirahat ini adalah setelah pertigaan Singaraja, dimana Kang Dinar katanya pernah tinggal di sana. (belakangan kami ketahui bahwa gadis di sini cantik-cantik, banyak yang indo, karena dulunya pengusaha Belanda banyak yang menikahi gadis-gadis lokal. Cerita ini sama yang aku dengar waktu ke Papandaya bersama Heri dulu).
Kemudian kami lanjutkan perjalanan, ternyata gunung yang kita lihat ketika beristirahat tadi di belakangnya adalah lembah yang sangat dalam, kemi menyusuri tebing batu di sebelah kanan dan sebelah kiri jurang, dengan pemandangan lembah yang tadi. Banyak saung-saung tempat istirahat dan beberapa dengan penjualnya. Kira-kira selama 30 menit, ternyata akhirnya jalan habis...!! Maksudnya jalan aspal mulus (meski banyak kerikil di tengah2)nya yang habis, dan kami menemui jalan aspal kasar yang mau tak mau harus dilewati. Dari sini tak lama mulai melihat kabut di kejauhan, kelihatannya kami menuju ke sana. Akhirnya benar, bertemu dengan kabut dingin dan sejuk yang disukai, aku melepaskan helm yang kupakai (kebiasaan jika menemui hal seperti ini). Kemudian di jembatan yang ada air terjun kecilnya kami menyempatkan berfoto. Ini salah satunya, jelmaan wayang golek di sana.
Akhirnya kami kembali melanjutkan perjalanan, bertemu dengan konvoi motor yang kelihatannya juga menuju pamengpeuk, dan kami sempat beriring-iringan. Ketika mereka berhenti di suatu pasar, kami mendahului. Dan ketika kami berhenti di jembatan cikaso dikarenakan Bu Yati mau buang air kecil, mereka mendahului kami. Kami berfoto-foto sejenak di sini sekaligus Mehfta membeli snack dan garam. Dari penjaga warung diketahui ternyata Pantai Pamengpeuk tinggal 10 km lagi, alias tidak mencapai 30 menit lagi. Bu Heni memang kelihatannya lemas, terang saja ia begadang semalaman, aku saja selesai chat dengan dia jam tiga kurang. Alhamdulillah beliau masih mau difoto dan tertawa.
Ternyata di satu-satunya POM Bensin di Pamengpeuk kami bertemu lagi dengan konvoi yang tadi. Mereka isi beli bensin kelihatannya, dan dengan cukup rasa bosan akhirny kita bertemu mereka lagi di pantai Santolo, pamengpeuk. Sebelum Pantai Santolo ini terdapat LAPAN, Stasiun Peluncuran Roket milik AL. Sesi pemotretan lagi. Indah laut di sini. Banyak sekali fotonya tapi ini hanya beberapa.
Kami berhenti sejenak foto-foto di depan LAPAN. Ada kejadian lagi dimana aku diharuskan men-shoot seorang gadis dengan delman, setelah memotretnya ternyata ada suami/pasangannya di belakang delman tersebut dengan menggunakan mobil, ia menyindir (ntah mungkin marah ngkali…) “shoot… shott,” katanya. Hahaha… dasar, kapok ah.
Kemudian dii pantai, kami beristirahat di belakang sebuah warung. Ternyata masuk ke pantai ini tidak bayar, tapi Mehfa memberi tahu berdasarkan nelayan yang ia temui bahwa harusnya ada tarifnya, yaitu Rp. 2000,-/orang, tapi kebetulan orangnya sedang tidak ada. Menjelang sore hari, untuk melihat sunset, lebih jelas kami harus menyeberangi sebuah sungai kecil yang menghubungkan laut dan semacam rawa tempat perahu-perahu nelayan bersandar. Karena dari tempat parkir motor pemandangan cukup terhalangi oleh sebuah teluk, Biaya per orang adalah Rp. 2000,- sekali menyeberang. Di teluk ini ada dataran karang yang menjorok kelaut, dari Pak Deni (pemilik TK) belakangan diketahui ternyata karang itu menggantung, sedang di bawahnya adalah laut juga. Hiii… serem juga. Sunset di sini indah, baru sekali aku melihat sunset indah seperti ini. Sedangkan sunrise terindah adalah di Manglayang terakhir kali aku ke sana.
Setelah menyeberang kembali, kami maghrib di Masjid setempat, ternyata ini adalah perkampungan. Terdapat banyak penginapan juga. Dan kami melihat satu tenda telah di pasang menghadap laut kelihatannya ada yang menginap menggunakan tenda juga. Selesai sholat bergantian, aku dan Bu Yeti, Mehfta dan Bu Heni (hanya mengganti baju), kita membeli ikan untuk dibakar nanti malam. Bu Heni dan Bu Yeti telah mempersiapkan bumbu instan yang dibeli di supermarket.
Akhirnya setelah sholat Isya baru kita mencari tempat untuk mendirikan tenda. Tempat pertama yang kami temui banyak semutnya meski datar tempatnya karena ada sisa ikan di sana. Tempat kedua memang lebih baik, karena lebih dekat ke laut, di tingkatan atas, dan sedikit miring, sehingga ada ketika tidur badan tidak terlalu datar. Segera setelah tenda terpasang, kami menyiapkan bakaran ikan. Aku mempersiapkan api, Mehfta dan Bu Heni membersihkan ikan.
Akhirnya setelah selesai, hanya satu ikan yang benar-benar matang, yang satu lagi kurang begitu di bagian ekornya. Yahh… mau gimana lagi, jadi pengalaman juga, ntah nasibnya habis atau tidak… Selesainya kita ngobrol-ngobrol saja, bermain tebak-tebakan, dan pengalaman cerita horror yang sebenarnya Bu Heni sangat takut, tapi Bu Yati terlihat tidak terlalu takut. Malam semakin larut, suasana sepi dengan deburan ombak, Bu Yati sudah tidur duluan, aku membuat benteng-bentengan saja akhirnya di pinggir laut. Ada pemandangan bulan purnama, laut bagian tengah terlihat berkristal-kristal bergaris vertikal karena memantulkan sinar bulan, sungguh suasana yang indah. tiduran di pasir, koprol, dan hal-hal lain yang tak jelas aku lakukan. Sementara Mehfta dan Bu Heni melanjutkan ngobrol. Hingga akhirnya mereka berdua menghampiri, kemudian Mehfta masuk ke pantai hingga batas dengkulnya dan berdiri di sana, cukup lama ada satu jam mungkin, berfikir, mungkin hal-hal yang dalam tentang kehidupan. Karena terlihat begitu hikmad. Akhirnya belakangan kuketahui setelah kutanyakan apa yang ia lakukan waktu ia, bahwa ternyata katanya ia sedang memikirkan kuliah! Hahaha.. ada-ada saja. “sambil memperhatikan ombak juga sih... ada yang besar ada yang kecil” katanya di kemudian hari. Sementara itu Aku dan Bu Heni ngobrol-ngobrol saja.
Minggu, 1 November 2009
Akhirnya nggak tau pukul berapa Bu Heni tidur, kami berdua masih berusaha menghidupkan api unggun kecil dengan kayu basah. Akhirnya ketika hendak tidur, Mehfta menginginkan untuk tidur di dalam pasir, seperti rencananya semula. Setelah menimbunnya, aku pun tidur menggunakan jas ujan, beralaskan pasir.
Pagi-pagi terdengar bunyi krek.. krek… dari dalam pasir, Mehfta bilang sempet risih juga, tapi aku mah kalo uda tidur cuek segala hal. Bu Heni dan Bu Yeti mengeluhkan tentang banyaknya nyamuk, hahaha… kok di luar malah tidak terganggu ya. Salah juga lupa bawa pelindung nyamuk. Masalah bunyi di dalam pasir teori yang kemudian muncul adalah itu adalah kepiting yang memang biasa bersembunyi di bawah pasir.
Pantai pagi ini ramai sekali. Banyak nelayan yang menjala ikan dari pinggir, entah bagaimana detail caranya, sementara ibu-ibu menunggu untuk langsung membeli ikan dari mereka, kemudian anak-anak, orang yang berwisata bersama keluarga, ada yang bawa truk juga malah, ramai juga yang mulai berenang. Berdua dengan Mehfta kami lari pagi, sementara Bu Heni dan Bu Yati mempersiapkan nasi dan lainnya. Hahaha… baru pertama kali kami jalan-jalan nggak repot, dan cukup menikmati saja. Hmmm… harusnya ikut bantu juga sih. Paling nggak tidak membuat mereka repot. Setelah berhenti istirahat, kami sadar ternyata tempat kami berada saat ini ombaknya begitu besar, sementara di tempat tenda kami dirikan tidak begitu. Mehfta menelepon Budi dan Hari temannya di Bogor. Kemudian kami balik lagi, sempat menangkap kepiting dan dimasukkan ke dalam batok kelapa. Kelak kepiting ini hilang juga akhirnya. Mungkin ada bagusnya juga.
Akhirnya setelah makan snack, berenang! Ramai yang berenang, sampai ada yagn ke tengah sekali. Mungkin sudah jago. Tapi tampaknya ombaknya lebih banyak yang pecah di pinggir, di tengah ini hanya sekali-kali saja, dan biasanya langsung ombak yang besar. Ombaknya lumayan lah, setelah berenagn beberapa saat, makan nasi liwet dengan mie yang dimasakkan oleh para Ibu Guru baik hati ini.
Sempat foto-foto beberapa kali. Awalnya Bu Heni dan Bu Yati ga mau banget masuk ke dalam laut. Tapi lama kelamaan mereka mau, meski jerit-jerit dan akhirnya basah kuyup juga. Pagi ini aku merasa air laut dingin sekali. Kemudian ketika cuaca mulai panas, aku mau tidur saja di dalam tenda sementara mereka melanjutkan berenang.
Ketika bangun cuaca mulai panas dan pantai mulai sepi. Pada takut hitam kali yak. Mehfta keliling-keliilng membidik kameranya. Dengan Bu Yati mereka juga membeli ikan.
Akhirnya kami memutuskan untuk siap-siap. Bu Heni dan Bu Yati duluan ke masjid untuk mandi dan ganti baju, serta acara bersih2 lainnya. Sementara yang laki membereskan tenda.
Setelah memindahkan motor dan barang-barang ke tempat yang teduh, kemudian tenda dirobohkan. Cukup lama kemudian Bu Heni dan Bu Yati datang, kami yang cowok memutuskan nggak mandi dulu, nti aja di jalan kalau ketemu air terjun berencana baru mandi.
Akhirnya kami berangkat, setelah menanyakan jalur ke Bandung via Ciwidey ke petugas retribusi, kami mengisi bensin terlebih dahulu di POM Bensin. Baru melewati jalur yang ditunjuk Pak Petugas, diberitakan bahwa pertigaan menuju Ciwidey adalah di daerah bernama Cidaun. Terus saja menyusur pantai ke arah Barat. Pemandangan mantap sepanjang perjalanan. Dengan beragam pemandangan pantai, ada yang kelihatan seperti daerah pantai di Bali juga. Kemudian kami menemukan sebuah masjid yang bagus.
Setelah istirahat, mandi (yang cowok doank), dan sholat, serta tak lupa berfoto-foto. Kami melanjutkan perjalanan. Bermacam pemandangan tapi tetap sebelah kiri adalah tetap pemandangan pantai nan eksotik. Kita sempat bertemu dengan prapatan yang ada plang menuju Pengalengan. Dan akhirnya menjelang Cidaun kami pun istirahat, membeli lotek (pecel) untuk makan siang. Nah, di sini terlihat lagi kebijaksanaan Bu Heni dalam mentraktir rombongan. Harga lotek memang cukup murah di desa ini, Rp. 3000,-
Di tempat makan ini sebenarnya ada kejadian sedikit, ikan yang dibeli oleh Bu Yati dan Mehfta ternyata bungkusnya menjadi susah ditaruh di tas depan ZX setelah sempat dibongkar tadi mencari makanan, sehingga nyaris copot-copot. Jadi Bu Yati yang dari ketika kita berangkat dengan khawatirnya ingin memegangnya karena takut jatuh, tapi sempat kubilang bahwa ditaruh di tas saja bisa daripada repot, akhirnya kuserahkan kembali. Dan mungkin aku rasa ia sedikit kesal harus memegang ikat tersebut.
Dari tempat kita makan ini, ternyata simpang yang menuju Ciwidey sudah dekat. Di sini kita sempat kelewatan pertigaan ini, dan kita di belakang ketinggalan karena harus menanyakan pada pemuda setempat dahulu untuk meyakinkan jalur (soalnya dulu pernah lewat, bersama dengan Teh Heni waktu itu), setelah itu mengejar mereka yang di depan memberitahukan jalurnya. Ada plang “Gua ..” apa gitu lupa juga. Kita putar balik dan masuk pertigaan yang ke arah atas, menjauhi pantai.
Nah, trek tahap dua dimulai. Bagian pertama sejak dari pantai adalah masih aspal kasar, dan perkebunan. Kemudian jalan mulai berkelak-kelok, dengan kita memipir tebing dengan jurang di sebelah kiri. Cuaca mulai sejuk, hingga kemudian dingin, dan akhirnya berkabut. Sebelum cuaca berkabut lebih tebal lagi kita sempat beristirahat di sebuah warung yang tutup, pemiliknya mungkin sedang pergi, dengan pemandangan jurang dan sungai di bawahnya. Sempat foto-foto sejenak. Kami sempat menemui iringan jenazah yang digotong tidak dengan tempat tidur mayit yang dari besi, tapi dari bambu. Entah detailnya.
Dari sini aku yang tadinya membawa Kawasaki ZX, bertuker dengan Mehfta jadi membawa Mega Pro. Dari segi kendaraan memang terasa bedanya, jika Membawa ZX nafasnya panjang dan ringan, dengan trek pegunungan ini serta manuvernya sangat mudah, Mehfta mengiyakan. Ia bilang tadinya terbiasa dengan belokan Mega Pro yang berat, menjadi ringan sehingga ia sempat keluar jalur karena gampangnya ZX berbelok dan masuk ke jalan non-aspal, tapi dapat segera kembali. Aku juga sempat latah mengikuti arahnya, jadi keluar juga deh. Aku rasa membawa mega pro memang nafasnya pendek, terutama gigi satu. Sehingga gigi satu yang nafasnya paling pendek satu harus dipacu hingga rpm tinggi, sekitar 7000 – 8000 rpm barulah terasa tenaganya setelah pindah ke gigi 2 yang panjang, tidak ngelitik. Aku di depan karena bel motor ini yang ‘normal’ sedangkan ZX bel-nya aksesoris yang seperti bel bus/truk. Mehfta dengan lancarnya mengikuti di belakang.
Dari tempat kita istirahat jalan mulai lebih berkabut, hingga sangat berkabut, kabut putih terasa seperti hujan, Mehfta jaketnya basah kuyup, dan jarak pandang ke depan hanya sekitar 2 meter kurang, lampu dihidupkan.
Menjelang perbatasan kami berhenti sejenak dan berfoto di hutan pinus/cemara. Kemudian melanjutkan perjalanan kembali, trek lebih menantang. Jalan yang sedang kita lalui menanjak, dan dapat kita lihat jalan yang belum kita lalui ada di atas kepala kita dengan di depan adalah tikungan 180 derajat. Untuk motor besar ini harus berhati-hati karena kadang kala ban depan terasa mengangkat-ngangkat, kehilangan traksinya, jadi badan harus dibungkukkan ke depan kadang-kadang agar tidak ngejemping. Ada kalanya cukup sulit melewati sebuah truk dan ada sebuah pick up yagn mengalah ke kiri untuk membiarkan kami lewat. Dari sini kiri kanan benar-benar tidak terlihat apa-apa. Hanya putih tetes-tetes kabut. Mehfta kembali memimpin sejak sebelum perbatasan tadi.
Akhirnya cuaca berlahan sedikit demi sedikit mulai terang. Dan ternyata kita sudah berada di perkebunan teh. Ketika melihat wajah Mehfta sangat aneh, seperti kakek-kakek karena bulu-bulu di wajahnya tertutupi embun sehingga berwarna putih semua. Aku dan Bu Heni ngakak melihatnya. Setelah suasana terang dan masih di perkebunan Teh. Kita berhenti dan Mehfta ingin difoto wajahnya, di sini kita ada lagi sesi fotonya. Aku juga baru menyadari bahwa sepatu yang aku pakai sudah jebol sol bagian depannya.
Kemudian kami melanjutkan perjalanan, truk dan pick up tadi telah melewati kami lagi. Tak lama dari sini terlihat situ patenggang dari kejauhan, ternyata kami muncul dari arah belakang situ patenggang. Kemudian dari sini jalur sudah mulai kami kenali, berturut-turut melewati Kawah Putih, Ciwalini. Sampai di pasar Ciwidey kami berhenti di masjid besar di sini. Sholat Maghrib. Bu Heni seperti biasa bertugas menjaga motor, karena dia sedang, udah di jelasin di awal. Hehehe… dari sini kita isi bensin di SPBU terdekat dan kembali melanjutkan perjalanan.
Menjelang Ibukota Kabupaten Bandung, Soreang, Mehfta tak ingin lewat jalur yang biasa, dia ingin melewati daerah Baleendah katanya. Kita ikut, di jalan sempat kehilangan ia beberapa kali, tapi dapat dikejar. Daerah Baleendah, trafik mulai gila. Macet, hingga macet luar biasa di suatu pasar sejak jembatan sebelum pasar ini. Motor berjalan dengan perlahan-lahan, hingga di tengah pasar aku melepas kopling terlalu cepat (malas dan pegelnya juga buka tutup kopling) hingga mesin mengelitik keras dan tiba-tiba mati. Setelah dicoba starter maupun di kick starter tetap tidak nyala.
Mehfta sudah meringkuk ke depan, cukup jauh, kami tidak bisa berbuat apa-apa, akhirnya meminggirkan motor dan duduk saja. Membiarkan motor istirahat. Aku rasa bukan masalah apa-apa cukup di diamkan saja. Bu Heni sms Bu Yati, aku sms Mehfta (belakangan kuketahui bahwa hpnya Mehfta ada di dalam tas yang kubawa jadi percuma saja), Bu Heni sms ke Bu Yati bahwa motor mogok dan menyuruh mereka duluan saja, tak ada balasan. Ketika setelah beberapa saat kucoba menghidupkan motor kembali akhirnya hidup. Dan kita memutuskan melanjutkan perjalanan.
Kemudian ternyata Bu Yati sms kalau Mehfta putar balik dan Bu Yati disuruh tunggu, ia mengancam mau pulang saja naik angkot, mungkin sebel kali yak. Bu Heni terlihat kesel banget, raut wajahnya buram, BT banget kelihatannya. Mungkin ia merasa ia disalahkan atas semua ini, mungkin karena sms yang ia kirimkan. Masalah kini mulai bertumpuk, setelah mogok motor setelah jembatan tadi, terus masalah ikan asin, dan ditambah lagi tadi Bu Yati sms kalau Mehfta uda pergi meninggalkan Bu Yati, dan ia juga bilang kalau ia kesal dan mau pulang saja. Bagaimana ini? BT BT BT ah…
Akhirnya kami memutuskan untuk menunggu saja di Depan Rumah Makan Sederhana di Jl. Soekarno Hatta, setelah mengsms minta dan memberi informasi kepada Bu Yati, tapi sayang ga dibales hingga beberapa lama. Tambah BT aja tu Bu Heni. Akhirnya aku sms Bu Yati kalau ini ikannya mau dianterin ke rumahnya, tapi tak tahu mana yang bagian ia, mana yang Mehfta. dan ingin ia mengonfirmasi juga keberadaannnya. Dan jika tidak dapat dikonfirmasi kami akan pulang, dan ikannya mungkin diambil kami saja, dan nanti digantiin uang, atau kita akan balik kembali setelah memisahkan ikannya di Ramadhian III. Akhirnya di balas, kalau ia sudah di rumah, capek, dan terserah ikannya.
Akhirnya setelah berdiskusi dengan Bu Heni, sebenarnya Bu Heni kelihatan malas bertemu, aku bilang anterin saja ikannya (Bu Heni yang tahu rumahnya), yang penting kewajiban sudah ditunaikan sehingga tidak ada sesuatu yang mengganjal lagi, karena hal yang harus telah dilakukan. Akhirnya kita mengantarkan ikannya ke Bu Yati di rumahnya. Kemudian kita ke BIR. Di sana sudah ada Mehfta, kemudian setelah memisahkan barang, akhirnya Bu Heni pulang, sendirian, ia menolak ketika ditawarkan untuk diantar. Ia sebenarnya sudah ditelp dan sms berkali-kali oleh keluarganya. Tapi ia sudah membalasnya.
Malam ini ikan mulai menunjukkan aksi aromanya, Mehfta kelihatan sudah capai untuk menaruhnya di kulkas dirumah Neneknya. Ia bilang dikasih garam saja kemudian direndam di air.
Hufff… what a day!!!!
—0 —
Catatan: Ribet ah masang gambarnya, belakangan aja diedit, hehehe...